Peranan R.A.A.Wiranatakusumah V Dalam
Penyebaran Tembang Sunda Cianjuran (Mamaos)
Di lingkungan
masyarakat Cianjur Dalem Pancaniti diyakini sebagai pelopor Tembang Sunda
Cianjuran. Dalem pancaniti merupakan bupati yang pemerintah cianjur dalam kurun
waktu 1834-1863. Dalem pancaniti merupakan nama panggilan karena nama resmi
Bupati Cianjur tersebut adalah R.AA.Kusamahningrat yang sewaktu kecil memiliki
nama Aom Hasan. Ia memegang jabatan bupati menggantikan kedudukan ayahnya, R.AA
Prawiradiredja yang memerintah Cianjur tahun 1813-1833. Meskipun sudah memegang
kedudukan sebagai bupati, namun rupanya R.A.A Kusumahningrat tidak mengikuti
kebiasaan R.A.A Prawiradiredja khususnya mengenai tempat tinggalnya. Selama
menjadi bupati, ia tidak pernah tinggal di pendopo atau padaleman, tetapi di
salah satu bangunan di dalam kompleks pendopo yang disebut Pancaniti. Oleh
karena itu, masyarakat Cianjur lebih mengenal dirinya dengan sebutan Kangjeng
Dalem Pancaniti. Di tempat inilah ia mencurahkan perhatiannya terhadap
kehidupan dan penghidupan kebudayaan terutama kesenian sunda. Dalem Pancaniti
memiliki bakat luar biasa dalam membuat tembang semata-mata tidak untuk
kepentingan kesenian, tetapi juga untuk kepentingan pribadinya. Manakala
dirinya ingin dengan istrinya yang tinggal di Dalem Pancaniti menulis tembang Pupuh Kinanti seperti contoh berikut:
Serat sayoga kahonjuk
Hing pangkon Dalem Dipati
Sesekar eros ermawar
Acina
gambir malati
Mustikaning pagulingan
Inten
komala retnadi
Engkan
dek aya piunjuk
Manawi
bahan katampi
Maksad engkan dek nepangan
Ka panutan sanubari
Mugi enggal diwalonan
Dianti di Pancaniti
Surat yang adinda baca
Adalah hati terdalam
Dalem Dipati
Bak bunga ros ermawar
Saripati gamabir melati
Mustika diperaduan Bak
intan memancarkan cahaya
Kakanda mempunyai
maksud
Semoga dapatditerima
Satu kata hanya ingin
bertemu
Dengan adinda yang
terkasih
Balaslah rasa cinta ini
ku menanti di Pancaniti
Sumber: Sukanda et al.,
1977: 62; Surianingrat, 1982: 140; Lubis, 1998: 241.
Foto
1 R.AA Kusumahningrat atau Dalem Pancaniti dan makamnya di Pasarean Agung
Cianjur
Contoh surat tersebut
memberikan gambaran kepada kita bahwa Dalem Pancaniti merupakan sosok yang
mempunyai selera estetika tinggi. Adanya kecenderungan mempunyai selera
estetika yang tinggi, dapat kita cermati dalam mengungkapkan rasa cinta
terhadap istrinya menggunakan tuturan gaya bahasa yang indah penuh simbol.
Disamping itu, melalui ungkapan surat terhadap istrinya yang sangat dikasihinya
tersebut mengisyaratkan bahwa Dalem Pancaniti juga sosok seorang lelaki yang
mempunyai etika yang tinggi pula. Dari dua aspek tersebut yakni rasa estetika
dan etika yang tinggi dapat kita interpretasikan bahwa Dalem Pancaniti adalah
seorang bupati yang sangat menyenangi dunia kesenian. Oleh karena itu, seni
pantun yang berkembang di Kabupaten Cianjur dari zaman Bupati Wira Tanu Datar I
sampai Bupati Wira Tanu Datar IV atau R.Aria Muchyidin (1776-1813) dan kesenian
tersebut menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Cianjur Diakses
dari (Seni Mamaos, Diakses dari http://ngaos-mamaosmaenpo.cianjurkab. go.id/?page_id=2.
Tanggal 14 Maret 2010. Pukul 12.04 WIB). Ketika R.T Wiranagara memerintah
Cianjur (1830-1834) seni pantun mulai dilupakan oleh masyarakat Cianjur bahkan
menunjukkan kecenderungan punah. Kendati pun demikian, seni pantun itu masih
dikuasai secara baik oleh Raden Wasitaredja, saudara kandung Bupati R.A Wira
Tanu Datar VI. Oleh Dalem Pancaniti yang dibantu para seniman Padaleman antara
lain Raden Askaen Raden Djaya Uhi, Raden H. Abdul Palil dan Maing Buleng. Seni
pantun diolah lagi dan hasilnya menjadi seni mamaos, seni ini lebih halus aspek
bahasanya dibandingkan dengan seni pantun sehingga enak didengar. Berapa lagu
seni mamaos berhasil diciptakan oleh Dalem Pancaniti antara lain Layar Putri, Balagenjat, Degung Palangon,
Degung Kurawul dan Degung Wabango. Dari situlah seni mamaos diciptakan dan
menjadi bagian dari kehidupan social budaya kalangan menak Cianjur. Pada awal
penciptaannya seni mamaos memang tidak ditujukan sebagai wadah untuk memenuhi
hasrat berkeseniian masyarakat Cianjur, tetapi hanya untuk dilantunkan di dalam
Pendopo. Untaian kalimat dengan memakai bahasa Sunda yang sangat halus yang
terikat oleh aturan pupuh menjadi salah satu bentuk prestisius bagi para menak
manakala ia bisa melantunkan seni mamaos. Kelak dalam perkembangannya, seni
mamaos menjadi milik masyarakat Sunda
entah dari kalangan menak atau cacah. Ornament-ornamen lagu asal tembangnya itu
sendiri (lagu-lagu Jawa), mewarnai pula lagu-lagu rarancagan. Begitu juga
sumber inspirasi penciptaan bentuk lagunya sendiri diambil dari seni-seni
tersebut. Misalnya saja dari seni pantun tercipta Kinanti layar dari Kliningan
tercipta lagu-lagu antara lain Gunungsari, Rumiang, Papalayon, dan Karaton
dandari seni wayang golek tercipta lagu Pangasahan. Lagu-lagu rarancagan yang
tercipta pada zaman Dalem Pancaniti antara lain dalam laras pelog, yaitu
tembang Kinanti Layar (Kinanti), Sinom Tegal, Tegal Sari (Sinom), Asmarandana
Pancaniti (Asmarandana), dan Dangdanggula Pancaniti (Dangdanggula). Dalam laras
sorog tercipta beberapa tembang, yaitu Papalayon (Kinanti), Sinom Rancag, Sekar
Gambir, Sinom Pangrawit (Sinom), Embat-embat, Karaton, Asmarandana Papalayon,
Amarandana Pancaniti, Asmarandana Rancag, Eceng Gendot (Asmarandana)
Waledan,Pangasahan, Dangdanggula Pancaniti, dan Bergola (Dangdanggula) Dalem
Pancaniti pun berhasil menciptakan lagu degung instrumentalia yang dimainkan
dengan waditra kacapi. Ada dua belas degung instrumentalia yang diciptakan oleh
Dalem Pancaniti yaitu Kawitan, Suyung, Bangambarangsinanga, Jipang, Jipang
Karaton, Jipang Lontang, Jipang Padusunan, Paningron, Gendre, Kurawul, Lambang,
dan Putri Layar (lahirnya lagu Panambih Mamaos Cianjuran) Diakses
dari http://salman-yahya.blogspot.com/2012/03/aki-endu-pelopor-lagu-panambih-mamaos.html.
Tanggal (17 Maret 2020 Pukul 12:54 WIB).
Masa
kepemimpinan Dalem Prawiradiredja II dapat diperkirakan sebagai masa
pertumbuhan awal Tembang Sunda Cianjuran. Di samping itu, pada masa
kepemimpinannya pula, patut diduga bahwa Dalem Prawiradiredja telah banyak
menciptakan lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran yang tentu saja mendapat dukungan
dan bantuan penuh dari para seniman pendopo. Malah tidak sedikit para tokoh
seni Tembang Sunda Cianjuran yang berpendapat bahwa pada era Dalem
Prawiradiredja II inilah tumbuh serta berkembangnya seni Tembang Sunda
Cianjuran. Disamping itu, pada masa pemerintahannya pula jenis kesenian Sunda
lainnya mengalami pertumbuhan sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan
bahwa saat itu dipandang sebagai masa-masa keemasan seni budaya Sunda. Di
antara lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran yang tercipta semasa Dalem
Prawiradiredja II yang diketahui antara lain : dalam laras pelog adalah Bayubud
dan Kentar Miring (Dangdanggula) Liwung, Ela-ela, dan Manangis (Sinom);dalam
laras sorog antara lain dalam pupuh Sinom yaitu Sinom Sawat, Satria ,Setra,
Kulu-kuli Barat; dan dalam pupuh Dangdanggula antara lain Telulare. Dalem
Prawiradiredja II pun berhasil menciptakan dua belas lagu degung instrumentalia
yaitu: Purwaganti, Ujung Lautan, Manintin, Kintil Bueuk, Mangu-Mangu, Palangon,
Wabango, Langensari, Papalayon, Palwa, Langgong, dan Lalayaran yang kemudian
menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan wanda panambah dalam Diakses dari Tembang
Sunda Cianjuran (Lahirnya Lagu Panambih Mamaos Cianjuran. Diakses dari
http://salman-yahya.blogspot.com/2012/03/aki-endu-pelopor-lagu-panambih-mamaos.html.
Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 13:12 WIB). Selain
terbentuknya lagu-lagu baru, seni Tembang Sunda Cianjuran terus berkembang dan
menyebar ke luar benteng pendopo. Prkembangannya, selain terjadi pada lagu-lagu
juga terjadi pada alat pengiring lagu-lagunya. Jumlah kawat kacarpi yang semula
hanya 5 kemudian 9 lalu 13 dan pada waktu Dalem Pacaniti telah menjadi 15 kawat
kemudian oleh Dalem Prawiradiredja II ditambahkan lagi 3 kawat sehingga menjadi
18 kawat. Penambahan ini disesuaikan dengan kebutuhan pola tabuh kacapi indung
terutama untuk mengiringi lagu-lagu dedegungan. Hal ini sejalan pula dengan
kesenangan Dalem Prawiradiredja II terhadap lagu-lagu gamelan degung yang
tabuhannya dialihkan kepada nada-nada kacapi indung. Selain itu, seni mamaos
tidak hanya diiringi oleh suara kacapi, tetapi juga oleh suara suling Diakses
dari (Tembang Cianjuran. Diakses dari http://situsarnes.blogspot.com/2012/03/
tembang-cianjur-an.html. Tanggal (17 Maret 2020 Pukul 13:27 WIB). Penyebaran
Tembang Sunda Cianjuran ke luar wilayah Kabupaten Cianjur secara efektif
terjadi pada saat jabatan Bupati Bandung dipegang oleh R.A.A WIranatakusumah V.
Sebelum menjabat Bupati ia terlebih dahulu memegang jabatan sebagai Bupati
Cianjur menggantikan R.Demang Natakusumah, Patih Cianjur yang diangkat sebagai
wakilbupati. Selama delapan tahun memerintah Cianjur R.A.A. WIranatakusumah V
mampu beradaptasi dengan lingkungan social budaya menak Cianjur sehingga dapat
memainkan peran sebagai pelindung seni mamaos. R.A.A Wiranatakusumah menjadi
Bupati Cianjur selama kurang lebih delapan tahun. Selama kurun waktu itu, ia
memiliki perhatian besar terhadap kesenian, khusunya terhadap mamaos. Ia tidak
menghapus tradisi mamaos sebagai salah satu bentuk kalangan para menak Cianjur.
Tetapi sebaliknya ia mampu menjadikan dirinya sebagai bagian dari tradisi
tersebut sehingga eksistensi seni mamaos dapat dipertahankan. Selain
mengapresiasi terhadap seni mamaos R.A.A Wiranatakusumah pun sangat menikmati
alunan music instrumentalia yang dimainkan oleh para nayaga degung kabupaten
yang dipimpin oleh Abah Idi. Nama perangkat degungnya, Pamagersari, selalu
dimainkan secara rutin di pendopo Kabupaten Cianjur (Dian Hendrayana.
Wiranatakusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses dari http://
newspaper.pikiran-rakyat.com/pr-print. php?mib=beritadetail&id=130076. Tanggal
(17 Maret 2020 Pukul 13:39 WIB). Kepeduliannya terhadap seni mamaos tidak bisa
dilepaskan dari keberhasilannya memajukan perekonomian masyarakat Cianjur,
khususnya di sector pertanian. Keberhasilannya mengakibatkan dirinya punya
waktu yang relative senggang karena tidak diganggu oleh persoalan-persoalan
perekonomian. Dalam konteks inilah kita bisa memahami bahwa iringan music yang
keluar dari Pamagersari merupakan symbol kebahagiaan atas keberhasilannya
memipin Kabupaten Cianjur. Tidak hanya itu, ia pun lantas menjadikan seni
mamaos sebagai bagian dari ungkapan rasa syukurnya karena di dalamnya
terkandung nilai estetika dan etika yang adiluhung. Ke adiluhung itu semakin
terasa manakala seni mamaos dilantunkan akan melahirkan keharuan dalam perasaan
karena disinggung memindahkan dirinya ke Bandung tahun 1920, untuk menggantikan
kedudukan R.A.A Martanagara dan kerap menghiasi pergelaran seni di Pendopo
Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Abah Idi. Bahkan ia kemudian memerintahkan
para abdi dalemnya untuk membuat satu perangkat degung lagi yang kemudian
diberi nama Purbasasaka dan Para Narayaganya berada di bawah kepemimpinan Abah
Oyo (Dian Hendrayana. Wiranatakusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses dari
http://newspaper.
pikiran-rakyat.com/pr-print.php?mib=beritadetail&id=130076. Tanggal 17
Maret 2020 Pukul 13:50 WIB). Untuk
melestarikan sekaligus memperkenalkan seni mamaos kepada kalangan kaum menak
Bandung R.A.A Wiranatakusumah V pun memboyong R.Etje Madjid seorang seniman
mamaos terkemuka ke Bandung. Pada awal keberadaannya di Bandung, seni mamaos
masih dipertontonkan hanya di kalanganmenak. Para pejabat di lingkungan
Kabupaten Bandung pun menerima kehadiran seni mamaos dan tidak terkemuka pada
saat itu. Bersama-sama dengan suaminya, R.Emung Purawinata, Nyi Mas Saodah
kerap di panggil ke Pendopo untuk mempertontonkan keadi luhungan seni mamaos di
hadapan Bupati R.A.A Wiranatakusumah V Dian
Hendrayana. Wirana-takusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses
dari http://newspaper. pikiran-rakyat.com/pr-print.php?mib=
beritadetail&id=130076. Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 13:59 WIB). Lambat
laun, seni mamaos mulai diperkenalkan kepada kalangan masyarakat biasa karena
menurut Wiranatakusumah eksistensi seni mamaos akan terjaga apabila masyarakat
luas merasa memilikinya. Pemikiran yang progresif inilah yang menghantarkan
seni mamaos keluar dari pendopo dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. R.A.A
Wiranatakusumah V memerintahkan R.Etje Madjid untuk mengajarkan seni mamaos
kepada setiap orang yang ingin mempelajari kesenian yang diciptakan oleh Dalem
Pancaniti itu. Selain itu, R.A.A Wiranatakusumah pun menjadikan seni mamaos
sebagai lagu penghormatan bagi setiap tamu agung yang berkunjung ke pendopo
Kabupaten Bandung Diakses dari (Dian Hendrayana. Wiranatakusumah, Degung, dan
Cianjuran. Diakses dari http://news paper.pikiranrakyat.com/pr-print.php?mib=beritadetail&id=130076.
Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 14:05 WIB). Masyarakat ternyata menyambut positif
seni mamaos itu sehingga tidak sedikit yang ingin mempelajari kesenian itu.
Dari sinilah seni mamaos kemudian berkembang di tengah-tengah masyarakat biasa.
Hal itu bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa pada 1920-an, di Bandung kerap
kali diselenggarakan kongkur mamaos yakni suatu aktivitas lazimnya sebuah
festival atau pasanggiri yang kerap kita temui pada masa sekarang. Kegiatan
tersebut dapat dijadikan sebagai indicator bagi perkembangan seni mamaos di
Kabupaten Bandung. Dengan perkataan lain R.A.A Wiranatakusumah telah berhasil
menjadikan seni mamaos sebagai kekayaan budaya Sunda yang dimiliki oleh setiap
masyarakat tanpa dibedakan oleh status sosialnya. Dengan demikian, jelaslah
kiranya peranan R.A.A Wiranatakusumah dalam menyebarkan seni mamaos ke luar
wilayah Cianjur. Atas usahanya itu, seni mamaos yang tadinya diciptakan untuk
konsumsi para menak menjadi kekayaan budaya Sunda yang berkembang di
tengah-tengah kehidupan masyarakat tanpa memperhatikan status sosialnya. Seni
mamaos yang tadinya dianggap sebagai milik kaum menak, atas usaha R.A.A
Wiranatakusumah V itu menjadi milik masyarakat Sunda. Selain itu, setelah
diterima sebagai bagian dari kehidupan social budaya masyarakat Sunda. Istilah
mamaos kemudian diganti menjadi Cianjuran atau lengkapnya Tembang Sunda
Cianjuran atas usul M.A Salman tahun 1932 melalui siaran NIROM. Nama tersebut kemudian disahkan dalam
Musyawarah Tembang Sunda Cianjuran tahun 1962 yang diselenggarakan di Bandung.