Rabu, 25 Maret 2020


Peranan R.A.A.Wiranatakusumah V Dalam Penyebaran Tembang Sunda Cianjuran (Mamaos)



      Di lingkungan masyarakat Cianjur Dalem Pancaniti diyakini sebagai pelopor Tembang Sunda Cianjuran. Dalem pancaniti merupakan bupati yang pemerintah cianjur dalam kurun waktu 1834-1863. Dalem pancaniti merupakan nama panggilan karena nama resmi Bupati Cianjur tersebut adalah R.AA.Kusamahningrat yang sewaktu kecil memiliki nama Aom Hasan. Ia memegang jabatan bupati menggantikan kedudukan ayahnya, R.AA Prawiradiredja yang memerintah Cianjur tahun 1813-1833. Meskipun sudah memegang kedudukan sebagai bupati, namun rupanya R.A.A Kusumahningrat tidak mengikuti kebiasaan R.A.A Prawiradiredja khususnya mengenai tempat tinggalnya. Selama menjadi bupati, ia tidak pernah tinggal di pendopo atau padaleman, tetapi di salah satu bangunan di dalam kompleks pendopo yang disebut Pancaniti. Oleh karena itu, masyarakat Cianjur lebih mengenal dirinya dengan sebutan Kangjeng Dalem Pancaniti. Di tempat inilah ia mencurahkan perhatiannya terhadap kehidupan dan penghidupan kebudayaan terutama kesenian sunda. Dalem Pancaniti memiliki bakat luar biasa dalam membuat tembang semata-mata tidak untuk kepentingan kesenian, tetapi juga untuk kepentingan pribadinya. Manakala dirinya ingin dengan istrinya yang tinggal di Dalem Pancaniti menulis tembang Pupuh Kinanti seperti contoh berikut:

Serat sayoga kahonjuk

Hing pangkon Dalem Dipati

Sesekar eros ermawar



Acina gambir malati

 Mustikaning pagulingan

Inten komala retnadi



Engkan dek aya piunjuk

Manawi bahan katampi

 Maksad engkan dek nepangan

 Ka panutan sanubari

 Mugi enggal diwalonan

 Dianti di Pancaniti



Surat yang adinda baca

Adalah hati terdalam Dalem Dipati

Bak bunga ros ermawar

Saripati gamabir melati

Mustika diperaduan Bak intan memancarkan cahaya



Kakanda mempunyai maksud

Semoga dapatditerima

Satu kata hanya ingin bertemu

Dengan adinda yang terkasih

Balaslah rasa cinta ini ku menanti di Pancaniti

Sumber: Sukanda et al., 1977: 62; Surianingrat, 1982: 140; Lubis, 1998: 241.



Foto 1 R.AA Kusumahningrat atau Dalem Pancaniti dan makamnya di Pasarean Agung Cianjur

       

    Contoh surat tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa Dalem Pancaniti merupakan sosok yang mempunyai selera estetika tinggi. Adanya kecenderungan mempunyai selera estetika yang tinggi, dapat kita cermati dalam mengungkapkan rasa cinta terhadap istrinya menggunakan tuturan gaya bahasa yang indah penuh simbol. Disamping itu, melalui ungkapan surat terhadap istrinya yang sangat dikasihinya tersebut mengisyaratkan bahwa Dalem Pancaniti juga sosok seorang lelaki yang mempunyai etika yang tinggi pula. Dari dua aspek tersebut yakni rasa estetika dan etika yang tinggi dapat kita interpretasikan bahwa Dalem Pancaniti adalah seorang bupati yang sangat menyenangi dunia kesenian. Oleh karena itu, seni pantun yang berkembang di Kabupaten Cianjur dari zaman Bupati Wira Tanu Datar I sampai Bupati Wira Tanu Datar IV atau R.Aria Muchyidin (1776-1813) dan kesenian tersebut menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Cianjur Diakses dari (Seni Mamaos, Diakses dari http://ngaos-mamaosmaenpo.cianjurkab. go.id/?page_id=2. Tanggal 14 Maret 2010. Pukul 12.04 WIB). Ketika R.T Wiranagara memerintah Cianjur (1830-1834) seni pantun mulai dilupakan oleh masyarakat Cianjur bahkan menunjukkan kecenderungan punah. Kendati pun demikian, seni pantun itu masih dikuasai secara baik oleh Raden Wasitaredja, saudara kandung Bupati R.A Wira Tanu Datar VI. Oleh Dalem Pancaniti yang dibantu para seniman Padaleman antara lain Raden Askaen Raden Djaya Uhi, Raden H. Abdul Palil dan Maing Buleng. Seni pantun diolah lagi dan hasilnya menjadi seni mamaos, seni ini lebih halus aspek bahasanya dibandingkan dengan seni pantun sehingga enak didengar. Berapa lagu seni mamaos berhasil diciptakan oleh Dalem Pancaniti antara lain Layar Putri, Balagenjat, Degung Palangon, Degung Kurawul dan Degung Wabango. Dari situlah seni mamaos diciptakan dan menjadi bagian dari kehidupan social budaya kalangan menak Cianjur. Pada awal penciptaannya seni mamaos memang tidak ditujukan sebagai wadah untuk memenuhi hasrat berkeseniian masyarakat Cianjur, tetapi hanya untuk dilantunkan di dalam Pendopo. Untaian kalimat dengan memakai bahasa Sunda yang sangat halus yang terikat oleh aturan pupuh menjadi salah satu bentuk prestisius bagi para menak manakala ia bisa melantunkan seni mamaos. Kelak dalam perkembangannya, seni mamaos  menjadi milik masyarakat Sunda entah dari kalangan menak atau cacah. Ornament-ornamen lagu asal tembangnya itu sendiri (lagu-lagu Jawa), mewarnai pula lagu-lagu rarancagan. Begitu juga sumber inspirasi penciptaan bentuk lagunya sendiri diambil dari seni-seni tersebut. Misalnya saja dari seni pantun tercipta Kinanti layar dari Kliningan tercipta lagu-lagu antara lain Gunungsari, Rumiang, Papalayon, dan Karaton dandari seni wayang golek tercipta lagu Pangasahan. Lagu-lagu rarancagan yang tercipta pada zaman Dalem Pancaniti antara lain dalam laras pelog, yaitu tembang Kinanti Layar (Kinanti), Sinom Tegal, Tegal Sari (Sinom), Asmarandana Pancaniti (Asmarandana), dan Dangdanggula Pancaniti (Dangdanggula). Dalam laras sorog tercipta beberapa tembang, yaitu Papalayon (Kinanti), Sinom Rancag, Sekar Gambir, Sinom Pangrawit (Sinom), Embat-embat, Karaton, Asmarandana Papalayon, Amarandana Pancaniti, Asmarandana Rancag, Eceng Gendot (Asmarandana) Waledan,Pangasahan, Dangdanggula Pancaniti, dan Bergola (Dangdanggula) Dalem Pancaniti pun berhasil menciptakan lagu degung instrumentalia yang dimainkan dengan waditra kacapi. Ada dua belas degung instrumentalia yang diciptakan oleh Dalem Pancaniti yaitu Kawitan, Suyung, Bangambarangsinanga, Jipang, Jipang Karaton, Jipang Lontang, Jipang Padusunan, Paningron, Gendre, Kurawul, Lambang, dan Putri Layar (lahirnya lagu Panambih Mamaos Cianjuran) Diakses dari http://salman-yahya.blogspot.com/2012/03/aki-endu-pelopor-lagu-panambih-mamaos.html. Tanggal (17 Maret 2020 Pukul 12:54 WIB).

Masa kepemimpinan Dalem Prawiradiredja II dapat diperkirakan sebagai masa pertumbuhan awal Tembang Sunda Cianjuran. Di samping itu, pada masa kepemimpinannya pula, patut diduga bahwa Dalem Prawiradiredja telah banyak menciptakan lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran yang tentu saja mendapat dukungan dan bantuan penuh dari para seniman pendopo. Malah tidak sedikit para tokoh seni Tembang Sunda Cianjuran yang berpendapat bahwa pada era Dalem Prawiradiredja II inilah tumbuh serta berkembangnya seni Tembang Sunda Cianjuran. Disamping itu, pada masa pemerintahannya pula jenis kesenian Sunda lainnya mengalami pertumbuhan sehingga tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa saat itu dipandang sebagai masa-masa keemasan seni budaya Sunda. Di antara lagu-lagu Tembang Sunda Cianjuran yang tercipta semasa Dalem Prawiradiredja II yang diketahui antara lain : dalam laras pelog adalah Bayubud dan Kentar Miring (Dangdanggula) Liwung, Ela-ela, dan Manangis (Sinom);dalam laras sorog antara lain dalam pupuh Sinom yaitu Sinom Sawat, Satria ,Setra, Kulu-kuli Barat; dan dalam pupuh Dangdanggula antara lain Telulare. Dalem Prawiradiredja II pun berhasil menciptakan dua belas lagu degung instrumentalia yaitu: Purwaganti, Ujung Lautan, Manintin, Kintil Bueuk, Mangu-Mangu, Palangon, Wabango, Langensari, Papalayon, Palwa, Langgong, dan Lalayaran yang kemudian menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan wanda panambah dalam Diakses dari Tembang Sunda Cianjuran (Lahirnya Lagu Panambih Mamaos Cianjuran. Diakses dari http://salman-yahya.blogspot.com/2012/03/aki-endu-pelopor-lagu-panambih-mamaos.html. Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 13:12  WIB). Selain terbentuknya lagu-lagu baru, seni Tembang Sunda Cianjuran terus berkembang dan menyebar ke luar benteng pendopo. Prkembangannya, selain terjadi pada lagu-lagu juga terjadi pada alat pengiring lagu-lagunya. Jumlah kawat kacarpi yang semula hanya 5 kemudian 9 lalu 13 dan pada waktu Dalem Pacaniti telah menjadi 15 kawat kemudian oleh Dalem Prawiradiredja II ditambahkan lagi 3 kawat sehingga menjadi 18 kawat. Penambahan ini disesuaikan dengan kebutuhan pola tabuh kacapi indung terutama untuk mengiringi lagu-lagu dedegungan. Hal ini sejalan pula dengan kesenangan Dalem Prawiradiredja II terhadap lagu-lagu gamelan degung yang tabuhannya dialihkan kepada nada-nada kacapi indung. Selain itu, seni mamaos tidak hanya diiringi oleh suara kacapi, tetapi juga oleh suara suling Diakses dari (Tembang Cianjuran. Diakses dari http://situsarnes.blogspot.com/2012/03/ tembang-cianjur-an.html. Tanggal (17 Maret 2020 Pukul 13:27 WIB). Penyebaran Tembang Sunda Cianjuran ke luar wilayah Kabupaten Cianjur secara efektif terjadi pada saat jabatan Bupati Bandung dipegang oleh R.A.A WIranatakusumah V. Sebelum menjabat Bupati ia terlebih dahulu memegang jabatan sebagai Bupati Cianjur menggantikan R.Demang Natakusumah, Patih Cianjur yang diangkat sebagai wakilbupati. Selama delapan tahun memerintah Cianjur R.A.A. WIranatakusumah V mampu beradaptasi dengan lingkungan social budaya menak Cianjur sehingga dapat memainkan peran sebagai pelindung seni mamaos. R.A.A Wiranatakusumah menjadi Bupati Cianjur selama kurang lebih delapan tahun. Selama kurun waktu itu, ia memiliki perhatian besar terhadap kesenian, khusunya terhadap mamaos. Ia tidak menghapus tradisi mamaos sebagai salah satu bentuk kalangan para menak Cianjur. Tetapi sebaliknya ia mampu menjadikan dirinya sebagai bagian dari tradisi tersebut sehingga eksistensi seni mamaos dapat dipertahankan. Selain mengapresiasi terhadap seni mamaos R.A.A Wiranatakusumah pun sangat menikmati alunan music instrumentalia yang dimainkan oleh para nayaga degung kabupaten yang dipimpin oleh Abah Idi. Nama perangkat degungnya, Pamagersari, selalu dimainkan secara rutin di pendopo Kabupaten Cianjur (Dian Hendrayana. Wiranatakusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses dari http:// newspaper.pikiran-rakyat.com/pr-print. php?mib=beritadetail&id=130076. Tanggal (17 Maret 2020 Pukul 13:39 WIB). Kepeduliannya terhadap seni mamaos tidak bisa dilepaskan dari keberhasilannya memajukan perekonomian masyarakat Cianjur, khususnya di sector pertanian. Keberhasilannya mengakibatkan dirinya punya waktu yang relative senggang karena tidak diganggu oleh persoalan-persoalan perekonomian. Dalam konteks inilah kita bisa memahami bahwa iringan music yang keluar dari Pamagersari merupakan symbol kebahagiaan atas keberhasilannya memipin Kabupaten Cianjur. Tidak hanya itu, ia pun lantas menjadikan seni mamaos sebagai bagian dari ungkapan rasa syukurnya karena di dalamnya terkandung nilai estetika dan etika yang adiluhung. Ke adiluhung itu semakin terasa manakala seni mamaos dilantunkan akan melahirkan keharuan dalam perasaan karena disinggung memindahkan dirinya ke Bandung tahun 1920, untuk menggantikan kedudukan R.A.A Martanagara dan kerap menghiasi pergelaran seni di Pendopo Kabupaten Bandung di bawah pimpinan Abah Idi. Bahkan ia kemudian memerintahkan para abdi dalemnya untuk membuat satu perangkat degung lagi yang kemudian diberi nama Purbasasaka dan Para Narayaganya berada di bawah kepemimpinan Abah Oyo (Dian Hendrayana. Wiranatakusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses dari http://newspaper. pikiran-rakyat.com/pr-print.php?mib=beritadetail&id=130076. Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 13:50 WIB).  Untuk melestarikan sekaligus memperkenalkan seni mamaos kepada kalangan kaum menak Bandung R.A.A Wiranatakusumah V pun memboyong R.Etje Madjid seorang seniman mamaos terkemuka ke Bandung. Pada awal keberadaannya di Bandung, seni mamaos masih dipertontonkan hanya di kalanganmenak. Para pejabat di lingkungan Kabupaten Bandung pun menerima kehadiran seni mamaos dan tidak terkemuka pada saat itu. Bersama-sama dengan suaminya, R.Emung Purawinata, Nyi Mas Saodah kerap di panggil ke Pendopo untuk mempertontonkan keadi luhungan seni mamaos di hadapan Bupati R.A.A Wiranatakusumah V Dian Hendrayana. Wirana-takusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses dari http://newspaper. pikiran-rakyat.com/pr-print.php?mib= beritadetail&id=130076. Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 13:59 WIB). Lambat laun, seni mamaos mulai diperkenalkan kepada kalangan masyarakat biasa karena menurut Wiranatakusumah eksistensi seni mamaos akan terjaga apabila masyarakat luas merasa memilikinya. Pemikiran yang progresif inilah yang menghantarkan seni mamaos keluar dari pendopo dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. R.A.A Wiranatakusumah V memerintahkan R.Etje Madjid untuk mengajarkan seni mamaos kepada setiap orang yang ingin mempelajari kesenian yang diciptakan oleh Dalem Pancaniti itu. Selain itu, R.A.A Wiranatakusumah pun menjadikan seni mamaos sebagai lagu penghormatan bagi setiap tamu agung yang berkunjung ke pendopo Kabupaten Bandung Diakses dari (Dian Hendrayana. Wiranatakusumah, Degung, dan Cianjuran. Diakses dari http://news paper.pikiranrakyat.com/pr-print.php?mib=beritadetail&id=130076. Tanggal 17 Maret 2020 Pukul 14:05 WIB). Masyarakat ternyata menyambut positif seni mamaos itu sehingga tidak sedikit yang ingin mempelajari kesenian itu. Dari sinilah seni mamaos kemudian berkembang di tengah-tengah masyarakat biasa. Hal itu bisa dilihat dari suatu kenyataan bahwa pada 1920-an, di Bandung kerap kali diselenggarakan kongkur mamaos yakni suatu aktivitas lazimnya sebuah festival atau pasanggiri yang kerap kita temui pada masa sekarang. Kegiatan tersebut dapat dijadikan sebagai indicator bagi perkembangan seni mamaos di Kabupaten Bandung. Dengan perkataan lain R.A.A Wiranatakusumah telah berhasil menjadikan seni mamaos sebagai kekayaan budaya Sunda yang dimiliki oleh setiap masyarakat tanpa dibedakan oleh status sosialnya. Dengan demikian, jelaslah kiranya peranan R.A.A Wiranatakusumah dalam menyebarkan seni mamaos ke luar wilayah Cianjur. Atas usahanya itu, seni mamaos yang tadinya diciptakan untuk konsumsi para menak menjadi kekayaan budaya Sunda yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat tanpa memperhatikan status sosialnya. Seni mamaos yang tadinya dianggap sebagai milik kaum menak, atas usaha R.A.A Wiranatakusumah V itu menjadi milik masyarakat Sunda. Selain itu, setelah diterima sebagai bagian dari kehidupan social budaya masyarakat Sunda. Istilah mamaos kemudian diganti menjadi Cianjuran atau lengkapnya Tembang Sunda Cianjuran atas usul M.A Salman tahun 1932 melalui siaran NIROM.  Nama tersebut kemudian disahkan dalam Musyawarah Tembang Sunda Cianjuran tahun 1962 yang diselenggarakan di Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar